Judul Buku : Teologi Mistik (judul asli: Mystical Theology)
Pengarang : William Johnston
Penerbit, Thn. : Jogjakarta: Kanisius, 2001
Kajian buku ini hendak menjabarkan mengenai teologi mistik. Teologi mistik dipahami sebagai bentuk teologi yang mengajak orang untuk masuk ke alam kesadaran yang lebih mendalam, sehingga mereka merasakan kenikmatan yang besar dalam alam misteri yang menyelubungi seluruh alam semesta.
Teologi mistik telah dikenal sejak abad ke-4 (minimal pada awal abad ke-5) yang dipengaruhi oleh mazhab Neo-Platonisme dan semakin lama semakin berkembang serta diajarkan di seminar-seminar. Kajian Teologi mistik – harus – selalu berangkat dari Kitab Suci yang kemudian dipadukan dengan perasaan cinta yang ada di dalam diri manusia. Dengan demikian teologi mistik dapat dikatakan sebagai ilmu yang merefleksikan – dan mengajarkan – kebijaksanaan rahasia yang diperoleh melalui cinta.
Teologi mistik selalu berupaya untuk menumbuhkan api ilahi dalam diri seseorang, karena melalui api ilahi ini jiwa seseorang akan mendapat pemurnian (dalam pemahaman ini teologi mistik memandang bahwa yang dimaksud dengan api ilahi ini adalah Roh Kudus). Jiwa yang telah dimurnikan oleh Roh Kudus pada akhirnya sampai pada pengetahuan yang terdalam. Pengetahuan yang terdalam ini merujuk pada cahaya Allah yang membutakan mata jiwa (dalam hal ini kita melihat bahwa pengetahuan yang dimaksud oleh teologi mistik ini bukanlah pengetahuan yang dicapai melalui ilmu dan kepakaran). Pengetahuan yang adalah cahaya Allah ini sebenarnya adalah kebijaksanaan mistik, kebijaksanaan rahasia, yaitu pusat dan teras pengalaman mistik Kristiani. Dalam pemahaman ini, teolog mistik mengajarkan bahwa api dan cahaya ilahi adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua unsur inilah yang akan mengantar manusia untuk mencapai pengetahuan terdalam terhadap nilai-nilai kehidupan. Oleh sebab itu teologi mistik bertujuan hendak mengetahui kebijaksanaan ilahi melalui cara/ metoda: meninggalkan cara berpikir orang biasa untuk mencapai pengetahuan dan kemudian masuk ke dalam “awan”.
Teologi mistik mengajarkan manusia – melalui Roh Kudus – untuk bisa memahami Kitab Suci, karena Kitab Suci dipandang berasal dari Allah. Dengan bimbingan Roh Kudus, manusia akan dapat menjumpai kebijaksanaan rahasia dalam Kitab Suci. Namun harus digarisbawahi di sini bahwa upaya mencari kebijaksanaan rahasia melalui bimbingan Roh Kudus harus didasarkan atas “jalan cinta”, karena jalan cinta ini merupakan dasar dari pengajaran teologi mistik. Mengapa harus jalan cinta yang ditempuh? karena teologi mistik memahami bahwa realitas tertinggi yang harus dipahami oleh manusia adalah tentang Allah yang mencintai manusia. Allah memiliki cinta yang berkobar kepada manusia dan cinta Allah itu tidak akan pernah padam untuk selama-lamanya (bdk. Kitab Kidung Agung). Jadi cinta yang dimaksud di sini selalu merujuk pada cinta Allah; karena Allah terlebih dahulu mencintai manusia, maka manusia pun harus saling mencintai satu sama lain dengan menggunakan cinta Allah. Melalui pemahaman ini, maka teologi mistik menjelaskan bahwa kebijaksanaan rahasia yang dikomunikasikan dan dicurahkan ke dalam jiwa seseorang selalu melalui jalan cinta.
Demikian juga halnya dengan upaya manusia untuk mendapatkan kebijaksanaan rahasia dalam Kitab Suci. Jalan utama yang harus ditempuh untuk berjumpa dengan kebijaksanaan rahasia tersebut adalah jalan cinta. Melalui jalan cinta ini Roh Kudus akan bekerja secara sempurna dan membimbing manusia untuk berjumpa dengan realitas Kristus.
Untuk merealisasikan dan memelihara jalan cinta ini, teologi mistik menekankan unsur doa sebagai kunci teologinya. Teologi mistik mengakui bahwa di dalam doa orang menerima – dari Allah – pengetahuan sejati mengenai Allah. Doa yang dilakukan harus didasarkan atas keheningan hati, karena doa yang didasarkan atas keheningan hati ini akan membawa manusia pada peristiwa metanoia (pertobatan hati). Dengan demikian, teologi mistik memiliki tujuan hakiki, yaitu menghantar manusia masuk ke dalam metanoia.
Teologi mistik juga menekankan bahwa hati manusia yang telah mengalami metanoia akan merasakan api cinta ilahi, sehingga manusia akan diubah menjadi seorang pencinta sejati; baik itu mencintai Tuhan, sesama maupun diri sendiri. Hal ini digambarkan oleh teologi mistik dalam peristiwa kenosis (mengosongkan diri – yang menjadi dasar dari segala pengalaman mistik). Kenosis akan dialami oleh orang yang hatinya telah dipenuhi oleh cinta dan itu berarti seorang pencinta sejati adalah orang yang telah mengalami peristiwa kenosis.
Melalui cinta yang berkembang dalam hati, maka seorang manusia akan memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial di sekitarnya. Ia tidak akan pernah diam melihat ketimpangan sosial, karena ketimpangan sosial menggambarkan ketimpangan cinta. Ia juga akan menjadi seorang pacifist (orang yang mengutamakan jalan pantang kekerasan/ anti kekerasan). Ia akan menolak setiap bentuk persekutuan yang didasarkan atas kekerasan, ia juga akan menolak segala bentuk tindak kekerasan dalam hidup.
Pada akhirnya, seseorang yang hatinya telah dikuasai oleh cinta, akan menjelmakan dirinya sebagai seorang pencinta damai bahkan ia akan mendorong dirinya menjadi seorang pelopor perdamaian. Hal ini dikarenakan perdamaian itu sendiri adalah gambaran dan lambang cinta, sehingga seorang mistikus pasti akan terdorong untuk terlibat langsung dalam upaya pendamaian, baik bagi dunia maupun bagi orang perorangan. Jelaslah di sini, bahwa teologi mistik bukanlah teologi yang mendasarkan pada pengalaman individu belaka (tidak bersifat egosentrisme), karena teologi mistik ini pun memiliki dampak bagi kehidupan sosial. Kehidupan religius (menurut teolog mistik) haruslah memiliki dampak yang konkret terhadap kehidupan sosial.
——-