Judul Buku : Early Rabbinic Judaism
Pengarang : Jacob Neusner
Penerbit, Thn. : Leiden : E.J. Brill, 1975
Paparan dalam buku ini lebih mengarah pada perkembangan Yudaisme Rabinik (yang terjadi pada tahun 70 – 170), sedangkan Yudaisme Rabinik itu sendiri telah tumbuh sejak masa kehancuran Baitu Suci II, di Yerusalem, pada tahun 70. Yudaisme Rabinik adalah pergerakan yang dilakukan oleh kelompok Rabi Yudaisme untuk menghantarkan umat Israel kembali pada hukum-hukum Sinai, yaitu hukum Torah yang telah diberikan Allah kepada Musa. Konsepsi pusat dari tradisi Yudaisme Rabinik ini berkembang pada saat Musa menerima Torah Allah, dimana diyakini bahwa pemberian Torah ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu: 1. Torah tertulis dan 2. Torah lisan.
Torah lisan kemudian dikenal dengan sebutan Mishnah, dan Torah Lisan ini juga diakui sebagai bentuk ajaran Yudaisme Rabinik di samping TENAKH (Torah, Nebiim, Khetubim), yang adalah kitab suci orang-orang Ibrani. Torah lisan merupakan hasil tafsir dari Torah tertulis. Upaya penafsiran ini dilakukan oleh para Rabi nirnama (tanpa nama). Berdasarkan hal ini, maka kemungkinan besar Torah Lisan ini bukan berasal dari jaman Musa, melainkan mulai dari jaman Ezra (Nabi yang memimpin bangsa Israel keluar dari pembuangan). Hal ini dilakukan – pada jaman Ezra – untuk menjaga kemurnian Torah tertulis.
Namun bukan berarti bahwa Torah lisan ini terpisah dari Torah tertulis, tetapi Torah lisan juga bukan berarti kaidah hukum yang berdiri sendiri. Torah lisan dapat dipandang sebagai bagian akhir dari eksegese/ tafsiran terhadap Torah yang diberikan di Sinai.. Dengan demikian Torah lisan merupakan nama umum dari semua hal yang tidak dijelaskan dalam Torah tertulis. Jika mau dilihat apa saja yang dimaksud dengan Torah lisan, maka kita akan menemukan beberapa hal yang termasuk dalam Torah lisan ini, antara lain adalah :
- Penjelasan-penjelasan yang terinci mengenai Torah terulis, yang telah Musa terima dari Allah di gunung Sinai.
- Penjelasan terinci dari hukum-hukum praktis yang semuanya tidak terdapat dan tidak mempunyai hubungan dengan ayat-ayat Kitab Suci Orang Ibrani (TENAKH).
- Hukum-hukum praktis yang dibentuk selama jaman para Nabi.
Berdasarkan hal-hal yang termasuk dalam Torah lisan di atas, maka upaya untuk memahami Yudaisme Rabinik harus ditelusur melalui Torah lisan, yaitu: Mishnah.
Karena Torah lisan tidak menjadi kaidah hukum yang berdiri sendiri melainkan memiliki hubungan dengan Torah tertulis, maka ada beberapa hal yang dapat digambarkan untuk menunjukkan hubungan yang erat antara Torah lisan dengan Torah tertulis. Hubungan tersebut terletak pada :
- Pada dasarnya Torah lisan melengkapi Torah tertulis, khususnya mengenai masalah hukum-hukum praktis yang tidak dijumpai dalam Torah tertulis. Di sisi lain Torah lisan pun menjabarkan secara detil segala bentuk hukum yang tertuang dalam Torah tertulis, dimana penjabaran ini akan menjadi petunjuk praktis bagi kehidupan sehari-hari.
. - Tugas utama dari Torah lisan adalah mengupayakan agar seluruh tulisan dalam Torah tertulis dapat diterjemahkan dalam seluruh aspek kehidupan. Misalnya: jika dalam Torah tertulis terdapat pernyataan mengenai situasi yang tidak seimbang dan mengakibatkan kehidupan menjadi tidak seimbang, maka Torah lisan akan mengupayakan agar pesan dari Torah tertulis ini dapat ditangkap oleh jemaat, tetapi sekaligus Torah lisan akan mengupayakan sebuah upaya restorasi agar kehidupan, yang digambarkan oleh Torah tertulis sebagai kehidupan yang tidak seimbang, dapat diseimbangkan kembali.
Di atas telah dipaparkan bahwa Yudaisme Rabinik ini tumbuh pada saat kehancuran Bait Suci II di Yerusalem. Kehancuran Bait Suci II ini berdampak sangat serius bagi kehidupan sosial dan religius bangsa Yahudi. Dan hal ini mengundang tanggapan dari orang-orang Yahudi, khususnya tanggapan yang berasal kelompok/sekte Yahudi yang berkembang pada saat itu. Dapat dicatat di sini 5 (lima) tanggapan mengenai kejatuhan Bait Suci II di Yerusalem, yaitu :
- Berasal dari Mazhab yang menekankan tentang pengharapan Apokaliptik (Apocaliptic Respons).
Respons Apokaliptik ini diuraikan secara terinci dalam II Ez. 3-14 dan di dalam Kitab Barukh. Secara umum respons Apokaliptik ini hendak menyatakan bahwa kejatuhan dan kehancuran Bait Suci II di Yerusalem menunjukkan keberdosaan manusia dan keadilan Allah. Oleh sebab itu tanggapan yang harus dilakukan adalah pertobatan manusia terhadap segala dosa yang telah diperbuatnya.
. - Sekte/Komunitas Laut Mati (biasa disebut dengan Komunitas Qumran)
Komunitas ini memandang bahwa Bait Suci II yang telah hancur harus direkonstruksi. Namun rekonstruksi Bait Suci ini bukan sekadar rekonstruksi fisik melainkan harus diiringi dengan reinterpretasi terhadap makna Bait Suci, termasuk maka kultis yang ada dalam Bait Suci. Komunita Qumran secara tegas mengatakan bahwa hakikat rekonstruksi dan reinterpretasi terhadap Bait Suci terletak dalam pengudusan kembali makna kehidupan yang telah tercemar selama ini. Kekudusan hidup dan ketaatan sangat diperlukan dalam upaya menumbuhkan pembaharuan hidup dan makna kultis yang didasarkan atas Torah.
. - Komunitas Kristen Awal
Komunitas Kristen awal ini mengkritisi makna Bait Suci II beserta praktek-praktek ibadahnya yang dikaitkan dengan makna keselamatan. Komunitas ini menegaskan bahwa pengalihan perhatian yang tidak lagi terpusat pada Bait Suci sudah saatnya dilakukan. Perhatian sekarang bukan lagi kepada Bait Suci II yang telah hancur, melainkan kepada Yesus Kristus yang adalah korban sempurna di hadapan Allah bagi penebusan dosa manusia.
. - Kelompok Farisi sebelum tahun 70
Kelompok ini mengatakan bahwa hidup kudus seperti yang selama ini dipraktekkan dalam kehidupan Bait Suci harus tetap dipertahankan dan dijalankan dalam kehidupan di luar Baitu Suci yang telah hancur.
. - Kelompok Farisi setelah tahun 70 (yang merupakan formulasi awal Yudaisme Rabinik)
Kelompok ini menekankan bahwa keberadaan Bait Suci II yang telah hancur bukan berarti meniadakan makna Baitu Suci itu sendiri. Keberadaan/eksistensi Bait Suci dapat dipindah ke rumah-rumah, karena hakikat Bait Suci bukan terletak pada bangunannya melainkan terletak pada kehidupan kudus yang selama ini digambarkan dan disimbolkan oleh Bait Suci. Oleh sebab itu, yang penting adalah tetap menjaga hidup kudus dan kasih setia kepada Allah, dan tidak lagi menekankan/mengutamakan masalah korban (bdk. Hos. 6:6). Secara tegas kelompok ini menekankan bahwa hidup kudus yang ditujukan guna pemenuhan hukum Torah harus dijalankan dalam seluruh aspek kehidupan, baik itu di jalan maupun di rumah tangga.
Dari peristiwa dan tanggapan ini kita dapat melihat bahwa peristiwa keruntuhan Bait Suci II di Yerusalem menjadi dasar bagi pembentukan Yudaisme Rabinik yang tetap mempertahankan ajaran Torah, yaitu mengenai hidup kudus, tetapi sekaligus mempunyai aspek-aspek yang baru yang tidak dimiliki oleh ajaran Yudaisme terdahulu, yaitu: tidak lagi memperdulikan masalah korban. Dengan kata lain, keruntuhan Bait Suci II di Yerusalem merupakan simbolisasi dari pembentukan Yudaisme Rabinik.
_______